Dua Masalah Tentang Ummahatul Mukminin
DUA MASALAH TENTANG UMMAHATUL MUKMININ
Oleh
Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr
1. Kalau para istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sebagai ibunda kaum Muslimin, lalu apakah boleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebut sebagai ayahanda mereka?
Pembahasan ini adalah masalah penting yang banyak dikomentari oleh para ahlil ilmi, yaitu dalam penafsiran ayat di atas.Karena konteks ayat ini memberikan pemahaman bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ayahanda kaum Mukminin sebagaimana para istri Beliau adalah ibunda mereka, pemahaman ini senada dengan apa yang telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Kedudukan para istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ibunda kaum Muslimin tiada lain karena mengikuti status Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jadi, seandainya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak seperti ayahanda kaum Muslimin, tentu para istri Beliau tidak akan memiliki kedudukan sebagai ibunda mereka”.[1]
Dalam satu bentuk qirâ`ah syâdzdzah (yang tidak mutawatir) untuk ayat ini :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka “ [2]
yang berasal dari sebagian Sahabat dan Tabi’in, ayat di atas disebutkan dengan teks qira`ah:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَهُوَ أَبٌ لَهُمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri, dan dia adalah ayah mereka dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka “
Al-Hâkim rahimahullah juga meriwayatkan dalam al-Mustadrak ’dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwasanya ia membaca ayat ini “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka Dia adalah ayah meraka dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka “[3].
Ibnu Jarîr rahimahullah juga meriwayatkan dari Mujâhid rahimahullah bahwasanya ia membaca, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka Dia adalah ayah mereka”[4]
Dan Ibnu Abi Hâtim rahimahullah juga meriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwasanya ia berkata, “Sebenarnya dalam kalimat pertama ayat ini berbunyi “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka, dia adalah ayah mereka”[5].
Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu dan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwasanya keduanya membaca, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka, ia adalah ayah mereka dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka“. Beberapa riwayat lain yang sama juga telah diriwayatkan melalui jalur Mu’âwiyah, Mujâhid, ‘Ikrimah dan Hasan”[6].
Qira`âh ini meskipun dikategorikan sebagai bacaan syâdzdzah, akan tetapi secara makna, qirâ`ah yang masyhur telah menunjukkan kebenarannya.[7]
Jadi, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam laksana ayah bagi kaum Muslimin, akan tetapi hanya dalam aspek agama saja, artinya bahwa beliaulah yang mendidik mereka, membimbing dan menunjukkan kepada mereka metode yang benar dalam beribadah, ketaatan dan istiqomah kepada Allâh Azza wa Jalla. Status Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tidaklah berbeda dengan kedudukan para nabi-nabi sebelumnya, yaitu sebagai bapak bagi umat-umat mereka, sebagimana hal ini telah dicatat dari Mujâhid rahimahullah bahwa ia mengatakan, “Setiap nabi adalah bapak bagi umatnya”[8]. Karena mereka telah tulus dalam menasihati umat-umat mereka, mengajak mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari keburukan.
Salah satu riwayat yang menunjukkan dan memperkuat makna ini, satu riwayat hadits dalam Sunan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , sesungguhya dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ Aku ini laksana bapak bagi kalian, dengan mengajari kalian. Bila salah seorang dari kalian mendatangi tempat buang hajat, janganlah ia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, dan jangan bersuci dengan tangan kanannya’. Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menggunakan tiga buah batu untuk bersuci, dan Beliau melarang untuk bersuci dengan menggunakan kotoran dan tulang.[9]
Hadits ini memuat satu petunjuk bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bapak bagi kaum Muslimin sesuai dengan makna yang terkandung dalam hadits, yaitu dengan memandang tugas yang Beliau emban kepada mereka berupa menasehati, membimbing dan mengarahkan mereka.
Atas dasar ini, Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Beliau (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah bapak kaum Mukminin, sebagaimana tertuang pada pada satu versi qirâ`ah al-Qur`ân dari sebagian para Sahabat Radhiyallahu anhum. Beliau mendidik mereka, sebagaimana seorang ayah mendidik anak-anaknya”.[10]
Dengan demikian, tidak ada larangan untuk menjuluki Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bapak kaum Mukminin dengan makna yang telah disebutkan sebelumnya.
Akan tetapi, sebagian Ulama lain berpendapat tidak bolehnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sebagai bapak kaum Mukminin, dengan dasar firman Allâh Azza wa Jalla :
ما كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasûlullâh dan penutup nabi-nabi”.[11]
Akan tetapi sebutan yangpantas adalah seperti bapak kaum mukminin,sebagaimana yang telah tertera dalam sabda beliau :‘Aku ini laksana bapak bagi kalian, aku mengajari kalian…”[12]
Keterangan ini disampaikan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah , kemudian beliau berkata, “Yang benar dalam masalah ini adalah diperbolehkannya untuk mengatakan bahwa beliau adalah bapak kaum Mukminin yaitu dalam aspek penghormatan, sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla [ مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَد ] “Muhammad itu sekali-kali bukan bapak seorang laki-laki di antara kamu,” maksudnya adalah bukan bapak dari sisi nasab.[13]
Maka, sama sekali tidak ada kontradiksi antara gelar bapak yang ditetapkan dan status bapak yang dinafikan. Status bapak yang dinafikan adalah bapak biologis bagi mereka. Sedang, status bapak yang ditetapkan dan para Ulama berhujjah dengan dalil-dalil yang telah berlalu, maksudnya bapak yang mengajari, menasehati dan menerangkan.
Syaikh Muhammad al-Amîn as-Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Dapat dipahami dari firman Allâh Ta’âla [ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ] bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bapak mereka (kaum Mukminin). Telah diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu dan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa keduanya membaca:
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَهُوَ أَبٌ لَهُمْ
“Istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka dan dia adalah ayah mereka”, kalimat bapak pada versi qirâ`ah ini adalah hanya sebatas status bapak dalam masalah agama. Karena kasih dan sayang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya itu melebihi kasih dan sayang bapak terhadap anak-anaknya.
Allâh Azza wa Jalla menggambarkan kasih-sayang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya melalui firman-Nya:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. [at-Taubah/9:128].
Bapak pada ayat ini tidak bermakna bapak biologis, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla telah menerangkannya dalam firman-Nya:
ما كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu” [al-Ahzâb/33:40].
Keterangan ini diperkuat dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dâwud, an-Nasâ’i dan Ibnu Mâjah, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku ini laksana bapak bagi kalian, dengan mengajari kalian. Bila salah seorang dari kalian mendatangi tempat buang hajat, janganlah ia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, dan jangan bersuci dengan tangan kanannya’. Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menggunakan tiga buah batu untuk bersuci, dan Beliau melarang untuk bersuci dengan menggunakan kotoran dan tulang”. Konteks hadits di atas secara tegas memberikan arti sebenarnya dari status bapak yang telah dikemukakan sebelumnya bagi Beliau sebagaimana sudah tampak jelas.[14]
Kesimpulannya, adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar bergelar sebagai bapak kaum Mukminin, akan tetapi dari aspek agama yang kedudukannya mengalahkan seorang bapak biologis, oleh karenanya terdapat riwayat hadits dari Beliau:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidak beriman seseorang diantara kalian sehingga menjadikan aku lebih dicintai daripada anak-anaknya, kedua ibu bapanya serta manusia yang lainnya.”[15]
Dan masih banyak hadits-hadits lain yang semakna dengan ini.©
2. Apakah istri –istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ibu bagi kaum laki-kaki yang beriman saja, ataukah juga Ibu bagi kaum wanita yang beriman ?
Mengenai masalah ini, para Ulama berselisih menjadi dua perdapat:
Pendapat Pertama : Istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya ibu bagi kaum mukminin laki-laki yang beriman saja. Mereka berdalil dengan ucapan Ummul Mukminin ‘Aisyah, bahwasanya ada seorang wanita yang datang kepadanya seraya berkata, “ Wahai ibundaku.” Maka ‘Aisyah menjawab, “Saya adalah ibu kaum laki-laki dari kalian, dan bukan ibu bagi kaum perempuan.”[16]
Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata, “Itulah pendapat yang benar”.[17] Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat paling shahih di antara dua pendapat yang beredar di madzhab Syafi’i rahimahullah”.[18]
Pendapat Kedua : Mereka adalah ibunda kaum Mukminin dan juga kaum Mukminah (baik yang laki-laki maupun wanita), Mereka berdalil dengan ucapan Ummu Salamah Radhiyallahu anha : “Saya adalah ibu kalian baik yang laki-laki maupun wanita.”[19]
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata untuk menguatkan pendapat ini : “Yang nampak jelas bagiku bahwa mereka adalah ibu bagi kaum laki-laki dan wanita, karena sebagai bentuk keagungan hak mereka, baik atas laki-laki maupun wanita. Dalil ang menunjukkan hal ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla pada permulaan ayat :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.”
Hal ini otomatis mencakup kaum laki-laki dan wanita. Pendapat ini juga diperkuat oleh hadits lain dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Jâbir Radhiyallahu anhu , oleh karena itu maka firman Allâh Azza wa Jalla :
لنَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
“Dan istri-istrinya adalah ibu kalian.”Itu maksudnya bagi semua.”
Ditambah lagi dengan adanya qira`âh Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu , “Dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka dan dia adalah ayah meraka “dan juga qira`âh Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , “diri mereka sendiri dan dia adalah ayah meraka dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka”.
Semua ini melemahkan riwayat Masrûq rahimahullah (yang bersumber dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha ) bila tepat berdasarkan tarjih. Adapun kalau tidak benar segi tarjihnya, maka riwayat ‘Aisyah ini tidak bisa menjadi dalil pengkhusus. Karena pada dasarnya, kita memposisikan dalil umum pada keumumannya, karena itulah yang langsung dapat dicerna oleh pemahaman. Wallâhu’alam.”.[20]
Pendapat yang dinyatakan al-Qurthubi rahimahullah ini dan yang ia sampaikan dengan hujjahnya inilah yang lebih kuat, meskipun bisa saja digabungkan antara riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha dan riwayat Ummu Salamah Radhiyallahu anha , dengan dikatakan, kalau yang dimaksud dengan ibu di sini adalah haramnya menikah dengan mereka sepeninggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau haramnya melihat dan berkholwat mereka, maka ini hanya berlaku bagi kaum laki-laki saja.
Namun, jika yang dimaksud dengan ibu di sini adalah kewajiban menghormati dan menjalankan hak-hak mereka, maka ini berlaku bagi kaum lak-laki dan kaum wanita. Sebab, mungkin Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu anha memperhatikan makna yang pertama, sedangkan Ummu Salamah Radhiyallahu anha memandang makna yang kedua. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Minhâj as-Sunnah 5/238
[2] QS. al-Ahzâb/33:6.
[3] Al-Mustadrak : 2/415. Al-Hâkim berkata, “Sanadnya shahîh , akan tetapi tidak diriwayatkan al-Bukhâri dan Muslim”. Diriwayatkan juga oleh al-Faryabi , Ibnu Mardawaih dan al-Baihaqi seperti telah terulis dalam kitab ad-Durrur al-Mantsûr 21/567.
[4] Jâmi’ al-Bayân 21/122. Diriwayatkan juga oleh al-Faryabi, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hâtim seperti telah tertulis dalam ad-Durru al-Mantsûr 21/567.
[5] Dikutip dari ad-Durru al-Mantsûr 21/567.
[6] Tafsir Ibnu Katsir 6/382.
[7] Minhâj as-Sunnah 5/238.
[8] Dinukilkan dari al-Alûsi t dalam kitab tafsirnya 21/152.
[9] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/247 no, 250, Abu Dawud 1/3, an-Nasâ’i 1/38, Ibnu Mâjah 1/114. Hadits ini dishahîhkan oleh al-Albâni. Lihat kitab Shahîh al-Jâmi’ 2/284.
[10] Tafsîr al-Karîm ar-Rahmân 6/98.
[11] QS. al-Ahzâb/33:40.
[12] Lihat kitab Al-Jâmi’ li Ahkâmil al-Qur`ân 14/84, Tafsîr Ibnu Katsîr 6/382.
[13] Al-Jâmi’ li Ahkâmil al-Qur`ân 14/84
[14] Adhwâul Bayân 15/570-571.
[15] HR. al-Bukhâri 1/22 dan Muslim 1/67.
[16] Diriwayatkan oleh rahimahullah Ibnu Sa’ad rahimahullah dalam ath-Thabaqât 8/64, al-Baihaqi rahimahullah dalam as-Sunan 7/70. Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam tafsirnya (6/381), “Hadits ini benar datangnya dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha “.
[17] Ahkâmul Qur`an 3/542.
[18] Tafsir Ibnu Katsîr 6/381.
[19] HR. Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqât sebagaimana dikutip as-Suyuthi t dalam ad-Durru al-Mantsûr 21/567, akan tetapi belum saya menemukannya sendiri dalam ath-Thabaqât.
[20] Al-Jâmi’ li Ahkâmil al-Qur`ân 14/84.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4209-dua-masalah-tentang-ummahatul-mukminin.html